REALITAS DINAMIKA POLITIK
OTONOMI KHUSUS NOMOR 21 TAHUN 2001 BUKAN UNDANG-UNDANG KEUANGAN:
PEMERINTAH INDONESIA JANGAN MENGUKUR MARTABAT ORANG ASLI PAPUA DENGAN NILAI
UANG DAN JANGAN MENGABURKAN AKAR PERSOALAN PAPUA DENGAN PROMOSI NILAI UANG Rp
94,24 TRILIUN RUPIAH
"Melawan RASISME. Black Lives Matter. West Papua Lives
Matter. Melanesian Lives Matter."
1.
Apakah Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 adalah Undang-Undang
KEUANGAN?
2.
Apakah Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 hanya membahas khusus
tentang KEUANGAN?
3.
Apakah Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 benar Almarhum, Gagal dan Mati?
4.
Apakah Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 itu turun sendiri dari langit?
Mari,
kita bersama-sama menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan jujur dan rasional
untuk melihat fakta dan bukti kegagalan Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 dan
latar belakang lahirnya Otonomi Khusus ini.
Dalam
rapat terbatas Presiden RI, Ir. Joko Widodo dengan para Menterinya pada 11
Maret 2020 menekankan:
"...Terkait
dana Otsus, laporan yang saya terima dana Otsus disalurkan ke Papua dan Papua
Barat dari tahun 2002 hingga 2020 adalah sebesar Rp 94,24 Triliun rupiah. Angka
sangat besar. Sangat besar sekali."
"...Dan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dana otsus Papua dan Papua Barat
akan berakhir di 2021, sehingga diperlukan kebijakan baru mengenai dana Otonomi
Khusus ini."
"Karena
itu saya menekankan beberapa hal: Evaluasi secara menyeluruh terkait tata
kelolah, efektivitas penyaluran dana otsus ini. Karena angka terlalu besar,
saya minta dilihat secara detail bagaimana pengelolahan. Jadi, sangat penting
penyalurannya, apakah betul-betul terdeliver ke masyarakat? Apakaj tepat
sasaran? Apakah sudah jadi barang? Barangnya apa? Yang paling penting, sejauh
mana dampak yang dirasakan oleh rakyat?"
Menurut
penulis, Pemerintah Republik Indonesia tidak saja evaluasi secara menyeluruh
terkait tata kelolah KEUANGAN. Ini penyelesaian persoalan Papua secara parsial
dan tidak utuh sesuai amanat konstitusi Negara Republik Indonesia tentang
Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001. Persoalan Papua bukan masalah uang. Masalah
Papua sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sudah
tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai hasil dari
kebijakan RASISME dan KETIDAKADILAN.
(1)
Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2)
Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada
penyelesaian;
(3)
Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4)
Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Sambutan
presiden Ir. Joko Widodo, "Evaluasi secara menyeluruh..." itu bukan
hanya keuangan tetapi harus sudah meliputi 4 akar persoalan yang dirumuskan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Penguasa
Pemerintah Republik Indonesia jangan menghindar dan menyembunyikan diri dari 4
pokok masalah ini dengan cara mengkredilkan undang-undang Otsus Nomor 21 Tahun
2001. Lembaran Negara atau Undang-undang tentang Otonomi Khusus terdiri dari 24
Bab dan 79 Pasal. Dari 24 Bab dan 79 Pasal itu tentang Keuangan 1 Bab yaitu,
Bab IX dan 9 Pasal dari 79 Pasal.
Pesan
Konstitusi Negara Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Papua Nomor 21
Tahun 2001 BUKAN Undang-undang KEUANGAN karena masih ada 23 Bab dan 70 Pasal
yang ditetapkan tentang persoalan mendasar di Papua.
Bab
I Ketentuan Umum. Bab II Lambang-Lambang. Bab III Pembagian Daerah. Bab IV
Kewenangan Daerah. Bab V Bentuk Dan Susunan Pemerintahan. Bab VI Perangkat dan
Kepegawaian. Bab VI Partai Politik. Bab VIII Peraturan Daerah Khusus, Peraturan
Daerah Provinsi, Dan Keputusan Gubernur. Bab IX Keuangan. Bab X Perekonomian.
Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Bab XII Hak Asasi Manusia. Bab
XIII Kepolisian Daerah Provinsi Papua. Bab XIV Kekuasaan Peradilan. Bab XV
Keagamaan. Bab XVI Pendidikan dan Kebudayaan. Bab XVII Kesehatan. Bab XVIII
Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Bab XIX Pembangunan Berkelanjutan dan
Lingkungan Hidup. Bab XX Sosial. Bab XXI Pengawasan. Bab XXII Kerjasama Dan
Penyelesaian Perselisihan. Bab XXIII Ketentuan Peralihan. Bab XXIV Ketentuan
Penutup.
Pertanyaannya
ialah apakah Pemerintah Republik Indonesia sungguh-sungguh melaksanakan seluruh
konstitusi Negara yang terdiri dari 24 Bab ini?
1.
Apakah Bab I Ketentuan Umum sudah dilaksanakan dengan benar oleh Pemerintah
Republik Indonesia Jawabannya: GAGAL.
2.
Apakah Bab II Lambang-Lambang sudah diwujudkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
3.
Apakah Bab III Pembagian Daerah diimplementasikan dengan benar oleh Pemerintah
Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL.
4.
Apakah Bab IV Kewenangan Daerah sudah diberikan oleh Pemerintah Republik
Indonesia di pusat kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat?
Jawabannya: GAGAL TOTAL.
5.
Apakah Bab V Bentuk Dan Susunan Pemerintahan sudah dilaksanakan oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan undang-undang? Jawabannya: GAGAL.
6.
Apakah Bab VI Perangkat dan Kepegawaian sudah dilaksanakan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan benar dan jujur? Jawabannya: GAGAL.
7.
Apakah Bab VII Partai Politik sudah diwujudkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan Undang-undang Otsus? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
8.
Apakah Bab VIII Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi, Dan
Keputusan Gubernur sudah dimplementasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia?
Jawabannya: GAGAL TOTAL karena semua draft Perdasi dan Perdasus ditolak oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
9.
Apakah Bab IX Keuangan ini menjadi isi seluruh Undang-undang Otonomi Khusus
Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: UU Otsus No.21 Tahun 2001 bukan Undang-undang
KEUANGAN.
10.
Apakah Bab X Perekonomian sudah berhasil meningkatkan taraf ekonomi Orang Asli
Papua oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Orang Asli
Papua benar tersingsir secara ekonomi dan tidak seperti kehidupan ekonomi di
waktu zaman Belanda. Di era Belanda, orang-orang asli Papua mempunyai Toko,
Bioskop, Mesin Foto Copy, Restoran, pemilik Transportasi, dan masih banyak
lain.
11
Apakah Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat sudah dilaksanakan oleh
Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
12.
Apakah Bab XII Hak Asasi Manusia sudah mendapat perlindungan dan penghormatan
dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Banyak Orang Asli
Papua tewas ditangan TNI-Polri. Kejahatan Negara semakin meningkat tajam.
Terjadi proses pemusnahan etnis Melanesia secara sistematis. Contoh terbaru
pada 18 Juli 2020, TNI masih menewaskan rakyat sipil di Nduga Elias Karunggu
(40 tahun) yang masih berbusana koteka dan Seru Karunggu (20 tahun) anak
kandung.
13.
Apakah Bab XIII Kepolisian Daerah Provinsi Papua sudah dilaksanakan sesuai
dengan amanat konstitusi Negara Republik Indonesia? Jawabannya: TIDAK.
14.
Apakah Bab XIV Kekuasaan Peradilan benar-benar dilaksanakan sesuai dengan
perintah Undang-Undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: TIDAK. Karena
wajah diskriminasi RASIAL menjadi roh peradilan Indonesia di Papua.
15.
Apakah Bab XV Keagamaan benar-benar dilaksanakan di Papua? Jawabannya: Di Papua
ada kehidupan saling menghormati sesama manusia dan menjaga keharmonisan dan
kedamaian antar umat beragama bukan karena ada undang-undang atau peraturan
Negara.
16.
Apakah Bab XVI Pendidikan dan Kebudayaan benar-benar dilaksanakan oleh
Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-undang Otonomi Khusus
Nomor 21 Tahun 2001?
Jawabannya:
Keberhasilan Pendidikan dan Kebudayaan tidak bisa diukur dari wilayah kota,
tetapi harus menjadi barometer keberhasilan dilihat dari kaca mata
daerah-daerah pedesaan dan pedalaman.
Persoalan
Pendidikan dan Kebudayaan ini Paradoks, ada kesenjangan atau ada jurang yang
besar antara kota dengan daerah-daerah pedesaan dan pedalaman, maka perlu ada
penelitian yang lebih jujur, terbuka dan konprehensif untuk mengukur kemajuan
bidang pendidikan.
Tetapi,
pada umumnya pendidikan dalam Otonomi Khusus terjadi kemunduran signifikan.
Karena fasilitas pendidikan yang tidak memadai. Kesediaan tenaga pengajar yang
sangat minim, bahkan ada sekolah yang tidak ada guru. Tenaga pengajar
tinggalkan tugas dari daerah alasan tidak nyaman karena operasi militer
Indonesia.
17.
Apakah Bab XVII Kesehatan sungguh-sungguh mendapat perhatian serius dari
Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: Pelayanan Kesehatan semakin buruk
dan kematian orang Asli Papua memingkat secara signifikan. Kejadian ini sangat
kontras dengan pelayanan kesehatan pada zaman pemerintahan Belanda dan
misionaris asing. Apakah bangsa Indonesia membawa malapetaka untuk orang Asli
Papua? Jadi, jawabannya: Pelayanan Kesehatan GAGAL.
18.
Apakah Bab XVIII Kependudukan dan Ketenagakerjaan benar-benar Orang Asli Papua
mendapat perlindungan dan keberpihakan dari Pemerintah Republik Indonesia?
Jawabannya: GAGAL TOTAL. Karena, OAP sudah menjadi tamu di atas Tanah leluhur
mereka.
19.
Apakah Bab XIX Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup sudah sesuai
dengan amanat UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL.
20.
Apakah Bab XX Sosial benar dan serius dilaksanakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia untuk memberikan perhatian dan perlindungan OAP dalam interaksi
sebagai masyarakat adat Papua? Jawabannya: GAGAL.
21.
Apakah Bab XXI Pengawasan dapat berfungsi secara benar dan maksimal sesuai UU
Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
22.
Apakah Bab XXII Kerjasama Dan Penyelesaian Perselisihan dapat dilaksanakan
dengan efektif sesuai dengan amanat konstitusi Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya:
GAGAL.
Dari
semua Bab dan Pasal yang tercantum dalam Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001,
satupun tidak dilaksanakan. Karena itu, Otonomi Khusus GAGAL Total. Rakyat
Papua menyatakan Otsus gagal. Dewan Gereja Papua (WPCC) menyatakan Otonomi
Khusus sudah mati.
Negara
jangan abaikan dan kaburkan latar belakang lahirnya Undang-undang Republik
Indonesia tentang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 karena pasca tumbangnya
kekuasaan Soeharto pada 1998, seluruh rakyat dan bangsa West Papua merapatkan
barisan dan membangun kekuatan bersama dan menuntut kemerdekaan bangsa West
Papua dengan cara mengibarkan bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua. Banyak
korban rakyat berjatuhan di tangan TNI-Polri.
1.
Delegasi Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa West Papua pertemuan dengan Prof.
Dr. B.J. Habibie di Istana Negara Republik Indonesia pada 26 Februari 1999.
"....dengan
jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada
alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah
Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden
Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
Pertama,
kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di
bumi."
Kedua,
segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat dibawah pengawasan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab,
selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.
Ketiga,
Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir
kesatu dan kedua , maka;
(1)
segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia,
Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
(2)
Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum
Republik Indonesia tahun 1999.
2.
Musyawarah Besar (MUBES) 23-26 Februari 2000.
Dari
7 butir keputusan peserta MUBES, pada butir 4 dinyatakan:
"Bahwa
kami bangsa Papua Barat setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui
pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun
berada dalam Negara Republik Indonesia, bangsa Papua Barat mengalami
perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: Pelanggaran berat HAM,
pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum
yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat,maka kami atas
dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih
merdeka-memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami
semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961."
3.
Kongres Nasional II Rakyat dan Bangsa Papua Barat, 26 Mei - 4 Juni 2000
Kongres
yang dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, Abdulrrahman Wahid ini
diputuskan beberapa butir keputusan politik sebagai berikut:
1.
Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember
1961.
2.
Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat
hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua.
3.
Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil pepera, karena dilaksanakan
dibawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan
perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu
bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19
Desember 1969.
4.
Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,dan PBB harus mengakui hak politik dan
kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan
sosial budaya.
5.
Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari
konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika
Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan
Internasional.
6.
PBB, AS, dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses
aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara
jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
Para
pembaca yang mulia dan terhormat. Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun
2001 tidak turun sendiri dari langit. Otonomi Khusus 2001 lahir karena ada
tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka dan berdaulat.
Menjadi
jelas dan terang latar belakang lahir Otonomi Khusus melalui proses dari Tim
100, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres II Nasional rakyat dan bangsa Papua
Barat pada 26 Mei-4 Juni 2000, yaitu rakyat dan bangsa Papua Barat menyatakan
berhak atas kemerdekaan dan kedaulatan pada 1 Desember 1961.
Prof.
Dr. Franz Magnis-Suseno menyimpulkan dengan sempurna kegagalan Otonomi Khusus
2001 akibat RASISME dan KETIDAKADILAN: "...Ada kesan bahwa orang-orang
Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai
manusia....Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan
memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di
tubuh bangsa Indonesia." "...kita akan ditelanjangi di depan dunia
beradab sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak
dipakai senjata tajam." (2015 : 255, 257).
Melihat
situasi kemanusiaan yang buruk, tidak normal, tidak beradab dan memalukan serta
luka membusuk ditubuh bangsa Indonesia yang ditimbulkan oleh RASISME dan
KETIDAKADILAN, maka Dewan Gereja Papua (WPCC) meminta kepada Dewan Gereja Dunia
untuk mendesak Negara Republik Indonesia segera menyelesaikan 4 akar persoalan.
Surat
pastoral Dewan Gereja Papua (WPCC) tertanggal 16 Februari 2019, dan 26 Agustus
2019 serta 13 September 2019 sebagai berikut.
1.
Meminta Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan
damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Persatuan Pembebasan
untuk Papua Barat (ULMWP) dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera
1969 yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral." (Surat tertanggal,
16 Februari 2019).
2
Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan
persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil
Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang
dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah
Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi
Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
2.
Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP
sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra
Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik
untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan
Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung
kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13
September 2019).
Selamat Membaca.
Tuhan memberkati.
Malang, 21 Juli 2020.
Oleh Dr. Socratez S.Yoman,MA
0 Komentar