![]() |
nare .id for papuaTentang Papua barat |
Papua Barat adalah sebuah wilayah yang memiliki dinamika yang kompleks dan penting untuk dipahami. Dalam konteks ini, kami ingin mengangkat beberapa poin utama yang menjadi sorotan dalam perjuangan Papua Barat:
1. Beralih ke Pemerintahan Sendiri: Papua Barat memiliki aspirasi untuk memiliki pemerintahan sendiri, di mana keputusan yang memengaruhi masyarakat Papua Barat dapat diambil oleh mereka sendiri. Ini adalah hak yang didambakan oleh banyak orang Papua Barat untuk mengelola urusan mereka sendiri sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.
2. Tindakan Pilihan Bebas: Dalam upaya untuk mencapai otonomi politik, penduduk Papua Barat berjuang untuk mendapatkan hak untuk memilih secara bebas tanpa tekanan atau intimidasi. Partisipasi politik yang demokratis dan pilihan bebas merupakan hak fundamental yang perlu dihormati dan dilindungi.
3. Hak Asasi Manusia Diserang Terus-Menerus: Situasi hak asasi manusia di Papua Barat telah menjadi perhatian serius. Pelanggaran seperti kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, dan penyiksaan terhadap masyarakat Papua Barat terus berlanjut. Penting bagi kita untuk memberikan suara kepada mereka yang tidak terdengar dan mendorong perlindungan hak asasi manusia yang kuat.
4. Eksploitasi Sumber Daya: Papua Barat kaya akan sumber daya alam yang bernilai, termasuk tambang dan hutan yang melimpah. Namun, eksploitasi yang tidak bertanggung jawab dan tidak adil terhadap sumber daya ini telah merugikan masyarakat Papua Barat. Keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat harus dijaga dengan hati-hati.
5. Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri Ditegaskan Kembali: Hak rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri adalah prinsip fundamental yang diakui dalam hukum internasional. Kita harus terus memperjuangkan pengakuan dan penghormatan atas hak ini serta memberikan platform bagi suara mereka yang ingin menentukan masa depan mereka sendiri.
6. Pendekatan Militer/Keamanan yang Berlaku: Pendekatan keamanan dan militer yang berlebihan di Papua Barat telah menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat sipil. Penting bagi kita untuk memperjuangkan peningkatan dialog damai dan pendekatan yang menghargai kepentingan dan aspirasi masyarakat Papua Barat.
7. Kebebasan Berekspresi Diabaikan: Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang penting, tetapi di Papua Barat, hal ini sering kali terbatas dan diabaikan. Masyarakat Papua Barat harus diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat mereka tanpa rasa takut atau hambatan.
Kami berharap bahwa melalui channel ini, Suara Papua ID, kami dapat
memberikan pemahaman yang lebih luas tentang isu-isu yang dihadapi oleh Papua
Barat. Kami berkomitmen untuk menyampaikan informasi yang objektif, berimbang,
dan memberikan suara kepada mereka yang sering kali tidak didengar.
Tindakan Pilihan Bebas.
Belanda kemudian menyerahkan Papua Barat kepada otoritas sementara PBB
yang tinggal selama hanya tujuh bulan sebelum menyerahkan kontrol kepada
Indonesia di bulan Mei 1963. Selanjutnya, PBB gagal merespon kebijakan represif
Indonesia maupun melindungi hak-hak rakyat Papua sebagaimana yang dijamin oleh
Perjanjian New York. Pada tahun 1969, sebanyak 1.025 orang Papua dari total
penduduk sekitar 800.000 dipilih secara serabutan kemudian diancam dan
diintimidasi agar memilih atas nama negara mereka untuk menjadi bagian dari
Indonesia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai Tindakan Pemilihan Bebas.
Secara kontroversial PBB mendukung dan membiarkan hal ini terjadi tanpa
keberatan.
Meskipun Papua Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang paling kaya akan sumber daya alam dan menjadi tempat bagi pembayar pajak terbesar yaitu perusahaan tambang Freeport, Papua Barat merupakan salah satu daerah termiskin dalam hal tingkat kemiskinan dan indikator pembangunan manusia, dengan keprihatinan serius pada tidak memadainya pelayanan kesehatan, kematian ibu dan anak, HIV / Aids dan rendahnya tingkat pencapaian pendidikan.
Eksploitasi sumber daya.
Eksploitasi sumber daya alam yang melimpah di Papua Barat serta pencaplokan lahan berskala besar secara sistematis untuk proyek-proyek agribisnis oleh Indonesia dan kepentingan bisnis internasional telah menjadi penyebab utama ketegangan dan konflik. Operasi ekstraktif telah melibatkan pengingkaran terhadap hak atas tanah dan degradasi lingkungan yang parah. Sebagian besar kawasan hutan menjadi sasaran untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dan produksi pangan dengan dampak besar terhadap perubahan iklim serta penduduk pribumi. Beberapa pelanggaran hak asasi manusia terburuk telah terjadi di sekitar perusahaan besar seperti di wilayah pertambangan emas dan tembaga, Freeport, dimana perusahaan mendanai pasukan keamanan sebagai upaya ‘proteksi’.
Hak untuk menentukan nasib sendiri ditegaskan kembali.
Setelah kejatuhan diktator otokratis di Indonesia, Soeharto pada Mei 1998, masyarakat Papua mengalami masa yang relatif cukup terbuka di bawah masa pemerintahan singkat Bacharuddin Jusuf Habibie (1998-1999) dan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Presiden Wahid memperbolehkan diselenggarakannya Kongres Rakyat Papua Kedua pada bulan Mei / Juni 2000. Kongres memutuskan untuk menolak ‘Tindakan Pilihan Bebas’ atau Pepera dan mendorong hak untuk menentukan nasib sendiri secara damai melalui dialog dan negosiasi.
Akan tetapi, sementara Indonesia telah membuat kemajuan substansial
dalam transisi menuju demokrasi, rakyat Papua sama sekali jauh dari situasi
yang menguntungkan. Otonomi khusus yang diberikan pada tahun 2001 telah ditolak
oleh Dewan Adat Papua Barat dan masyarakat Papua karena telah gagal untuk
meningkatkan hak-hak dan kondisi hidup rakyat Papua. Upaya lebih lanjut saat
ini sedang diteruskan oleh para pemimpin masyarakat adat Papua Barat dan para
pimpinan agama untuk mendorong proses dialog dengan Pemerintah Indonesia.
Namun, tidak semua orang Papua mendukung proses tersebut karena mereka kurang
percaya kepada pemerintah Indonesia, beberapa lebih percaya bahwa pendekatan
secara langsunglah yang dibutuhkan yaitu melalui referendum mengenai status
masa depan politik wilayah tersebut.
Meskipun ada tuntutan gigih untuk dialog politik, pendekatan keamanan terus menjadi cara dominan Pemerintah dalam menangani persoalan di Papua Barat. Operasi militer dan pendekatan tangan-besi dalam bidang keamanan menimbulkan ancaman serius terhadap hak asasi manusia dan kehidupan masyarakat Papua. Sebuah budaya kekerasan telah dikembangkan terkait dengan keyakinan aparat keamanan bahwa aktivitas politik serta advokasi untuk hak-hak orang Papua adalah selalu berhubungan dengan agenda separatis dan harus dihadapi dengan tindakan yang keras.
Praktek kekerasan dan represif dari pasukan militer dan polisi tersebut
termasuk: intimidasi, taktik teror, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang,
interogasi yang dilakukan tanpa kehadiran pengacara dan ditolaknya akses untuk
dikunjungi anggota keluarga, penyiksaan, penganiayaan dan pengabaian pemberian
perawatan kesehatan selama dalam tahanan; penembakan misterius, penghilangan
paksa, dan pembunuhan kilat. Para pembela HAM sangat rentan terhadap tindakan
kekerasan.
Pada bulan Oktober 2011, tiga orang tewas dalam tindakan pembubaran
dengan kekerasan terhadap Kongres Ketiga Rakyat Papua oleh pasukan keamanan di
ibukota Jayapura. Kongres diselenggarakan oleh para pemimpin adat Papua bersama
faksi-faksi politik untuk membahas hak-hak dasar mereka dan berakhir dengan
pernyataan bahwa Papua Barat telah merdeka sejak tahun 1961. Lima pemimpin
Papua dibawa ke pengadilan dan dinyatakan bersalah atas tindakan pengkhianatan
terhadap Negara (makar).
Sementara para orang Papua sering dihukum berat untuk kegiatan politik
damai, sebaliknya para petugas pasukan keamanan yang terlibat dalam pelanggaran
hak asasi manusia yang keji selalu lolos dari hukuman atau diberi hukuman
ringan yang tidak masuk akal. Pada bulan Januari 2011, tiga anggota tentara
dijatuhi hukuman antara delapan dan sepuluh bulan penjara untuk pelanggaran
prosedural ‘tidak mematuhi perintah’ karena keterlibatan mereka dalam
penyiksaan brutal terhadap dua orang laki-laki Papua pada Mei 2010.
Pembatasan hak untuk kebebasan berekspresi dan kriminalisasi kegiatan
politik damai dalam hal ini menjadi persolan mendasar penting di Papua Barat.
Kebebasan berekspresi adalah sangat strategis dan penting untuk memperbaiki
keadaan hak asasi manusia secara keseluruhan dan untuk memastikan bahwa para
pembela HAM dapat melaksanakan pekerjaan vital mereka secara bebas dari
berbagai intimidasi dan kekerasan. Hal ini juga diperlukan dalam rangka
menciptakan kondisi di mana masalah-masalah politik di wilayah ini dapat
diselesaikan.
Tertutupnya ruang demokrasi sebagai akibat dari pembatasan kebebasan berekspresi adalah sebuah langkah mundur dari kondisi yang dapat mendukung terjadinya dialog yang bermakna dan upaya penyelesaian konflik. Papua Behind Bars berusaha untuk mengatasi hal ini dengan mempromosikan debat serta perubahan bagi sebuah tindakan nyata dan kebijakan yang akan mengarah pada pembukaan ruang demokrasi di wilayah tersebut.
Terima kasih telah menjadi bagian dari NARE. ID. Kami berharap bahwa melalui informasi, diskusi, dan kesadaran yang kami bagikan, kita dapat memberikan dukungan yang berkelanjutan bagi masyarakat Papua Barat.
Kami memperjuangkan hak-hak asasi manusia, keadilan sosial, dan otonomi politik bagi Papua Barat. Kami mendorong dialog yang bermakna, kebebasan berekspresi, dan penyelesaian damai atas konflik yang ada.
Mari kita tetap terhubung, bersama-sama menjaga semangat solidaritas,
dan terus memperjuangkan keadilan bagi masyarakat Papua Barat. Bersama, kita
dapat membangun kesadaran, merangkul keragaman, dan menciptakan perubahan
positif.
Salam solidaritas,
NARE. ID.
0 Komentar