JEJAK KEKERASAN MILITER DI TANAH PAPUA
Akar Persoalan di Papua adalah Perjanjian New
York Agreement 1962, Aneksasi 1 Mei 1963 dan Pepera 1969.
Konflik yang terjadi di atas tanah Papua tidak bisa dipandang sebagai hal yang sepeleh, sebab konflik tersebut memiliki akar sejarah yang panjang semenjak Papua dianeksasi masuk dalam bingkai NKRI, sejarah dan manipulasi status politik adalah akar persoalan Papua menjadi masalah yang meninggkat sejak 1 Mei 1963 ketika wilayah Papua dianeksasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendudukan Indonesia di wilayah Papua membawah malapetaka dalam kehidupan rakyat Papua. Persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah perjalanan hidup orang Papua adalah kekerasan militer terhadap orang asli Papua dengan berbagai macam dalil dan stigam serta marginalisasi yang menjadi bagian dari kehidupan rakyat Papua sehari-hari.
Namun, Penderitaan hingga kini masih berlanjut dan
ditutupi oleh rezim otoritarian negara yang penuh dengan pendekatan kekerasan,
memarginalisasi orang Papua. Penderitaan rakyat Papua adalah sebuah ancaman
serius yang distigma “separatis”, “terbelakang”, “OPM”, “Gerakan Pengacau
Keamanan” dan “tidak berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan
diskriminasi.
Saat Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakartatanggal
19 Desember 1961. Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang
memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk
melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari
tangan Belanda.gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer
yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi
Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga,
Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah
Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada
fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).
Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan banyak orang Papua yang
telah dibantai pada waktu itu.
Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert
Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan
Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi
Papua Barat. Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan
kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah
dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada
tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian
New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice”
(Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh
pemerintahRepublik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang
dilaksanakan pada tahun 1969. 5. Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)
1969 Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia
dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, U
Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15
Agustus 1962.
New
York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah,
baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status
tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan
wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
Sejak
1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins
(UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat
menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia
mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua,
akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar
batas-batas kemanusiaan. Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengaturbahwa
“The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to
participate in the act ofself determinationto be carried out in accordance whit
international practice…”.Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus
dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakanpenduduk
Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan.
PenentuanPendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia,
yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan
perempuan. Sedangkandari 1025 orang yang dipilihuntuk memilih, hanya 175 orang
saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah
Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada
saat penandatangan New York Agreement
tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu.
Kekerasan Militer Berkelanjutan
Perilaku TNI yang paling kejam, brutal, barbar, rasis,
fasis dan tidak mengenal rasa keadilan dan kemanusiaan itu dimulaisejak 19
Desember 1961, 1 Mei 1963 dan
lebih terang terbukti dalam perampokan hak politik kami OAP pada Pepera
1969. Watak kejam militer itu belum pernah berubah tetapi kekejaman itu
semakin menggurita dan berlanjut sampai hari ini
melalui berbagai tindakan kekerasan di atas tanah Papua.
Perilaku aparat keamanan anggota TNI yang dipertontonkan penyiksaan terhadap seorang asli Papua (OAP) di Kab. Puncak Papua Tengah yang dimasukkan dalam drum ini sungguh-sungguh diluar batas-batas rasa kemanusiaan yang dapat mencederai dan melukai hati kita. Perilaku anggota TNI ini terlihat paling biadab, kejam, brutal, barbar, dan seperti berwatak teroris yang dikemas kebencian rasis dari aparat keamanan terhadap Penduduk Orang Asli Papua pemilik Tanah ini.
Setelah beberapa hari kemudian terjadi pembunuhan wargasipil oleh oknum Polisi di
Kab. Keerom, Papua yang melakukan penembakan 8 kali hingga korban meninggal
dunia. Tindakan yang sama juga dari oknum
polisi juga telah menganiaya sang istri asli Papua di Oksibil pengunungan
bintang, Papua.
Kekejaman ini hanya pengulangan peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelumnya, pada 10 Maret 2010 Pasukan TNI Batalyon Infanteri Yonif 756 yang menangkap Pendeta Kindeman Gire dan alat vitalnya dibakar dengan pisau sangkur panas dan meninggal dunia.
Ada pula 17 Maret 2010 dan 30 Mei 2010 di Kampung Gurage
DistrikTinggi nambut, Puncak Jaya, pasukan Yonif 753 menangkap dua warga sipil, Telangga
Gire dengan Anggenpugu Gire dan interogasi, menendang dan menyiksa mereka dan
TNI sendiri membuat vidio dan vidio itu menjadi viral di media sosial dan
dipersoalkan oleh lembaga internasional PBB. KOMNAS HAM pernah menetapkan Kasus
ini Pelanggaran HAM serius. (Sumber: Tempo Interaktif, 5 Januari 2021).
Belum lupa dalam ingatan kita kasus mutilasi yang terjadi
pada 22 Agustus 2023 di kabupaten Mimika, ketika empatwarga Nduga, yaitu Arnold
Lokbere, Irian Nirigi, Atis Tini, dan Lemaniol Nirigipergi ke Timika untuk berbelanja.
Pembunuhan dan mutilasi ini melibatkan enam anggota TNI aktif dan
empat warga sipil sebagai pelaku.
Peristiwa 7 Februari dan 24 Februari 2024 di
Yahukimo satu warga sipil yang tewas ditangan TNI dan dua pemuda
warga sipil berinisial MH dan BGE ditangkap, diikat, disiksa dan ditahan tanpa
proses hukum yang jelas.Beberap harilalu pada 8 April 2024
di ibukota Sugapa, kabupaten Intan Jaya
kembali terjadi kontak tembak antara TNI/Polri vs TPNPB.
Kejadian tersebut mengakibatkan dua remaja Korban atas nama Nepina Duwitau (anak
SD umur 6 tahun ) dan Nardo Duwitau (umur 12 tahun, meninggal dunia).
Tempat dimana sebelum pernah terjadi penembakan terhadap Pdt. Yeremia Zanambani pada
19 September 2020 lalu hingga belum mendapatkan proses hukum yang
jelas karena pembunuhnya TNI/Polri sendiri.
Di waktu yang sama tepat 30 Maret 2024
lalu terjadi penyisiran dan penembakan membabi buta serta pengeboman dilakukan di
wilayah yang tengah didiami Philip Mark Mehrtens, Pilot Susi Air yang
ditawanmilisi TPNPB-OPM yang mengakibatkan pembakaran, pembunuhan terhadap
rakyat sipil uang mengungsi.
Pembunuhan-pemubunhan tersebut dibiarkan begitu saja oleh
negara seolah rakyat Papua dipandang bagikan binatang yang siap harus dimangsa
oleh pemangsa kapan saja. Hal itu
terbukti dariberbagai kasus terberat maupun kecil pelanggaran HAM yang sampai saat
ini belum ada satu pun yang dituntaskan secara adil,
setiap pelaku dibiarkan tanpa diadili dalam pengadilan umum.
Di waktu yang sama kita juga
diperlihatkan dengan berbagai reaksi dan tanggapan yang salah dari rakyat
Indonesia. Salah satunya mengenai kritik BEM IU
terhadap tindakan praktik pelanggaran HAM di Papua. Hal ini
justru dianggap provokasi dan penyebaran hoaks oleh sebagianbesar rakyat Indonesia
yang mana, Negara sengaja memanipulasi fakta dan data yang
sesuai dengan keaadaan objektif di tanah Papua.
Timbul pertanyaan yang signifikan,
bagaimanakah pengaturan hukum humaniter internasional dalam peperangan dan
konflik bersenjata di tanah Papua?Apakah gugurnya TNI/Polri dan TPNPB juga
disebut pelanggaram HAM? Atau bagaimana jika masyarakat sipil yang menjadi korban dalam konflik angkatan bersenjata
diPapua?
Keadaan ini menunjukan rakyat Indonesia
belum memahami siapapelaku dan penjahat pelanggaran HAM dan siapa yang
dilindungi dalam konflik bersenjata berdasarkan Konvensi Jenewa IV 4 Tahun 1949
(Tentang Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Yang Menjadi Korban Perang),
Protokol Tambahan II (Tentang Perlindungan Korban-Korban
Sengketa-Sengketa Bersenjata.
Tindakan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
terhadap Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (“TPNPB”) atau Organisasi Papua
Merdeka (“OPM”) tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran Hak AsasiManusia (“HAM”)
karena TNI di sinimemiliki tugas untuk menyelamatkan warga sipil dari serangan yang
dilakukan oleh TPNPB/OPM dalam rangka menjalankan fungsi TNI berdasarkan Pasal 6
ayat (1) Undang-UndangNomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Tindakan TNI dapat tergolong sebagai pelanggaran HAM
apa bila dalam baku tembak tersebut dilakukan di luar ketentuan hukumhumaniter yang
mengatur tentang perang sebagaimana telah diratifikasi dalamUndang-Undang Nomor 59
Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia
dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949, di mana melalui ratifikasi
ini Indonesia mengakui ketentuan-ketentuan ataupun rambu-rambu dalam berperang.
Dengan demikian, dalamkonteks hukumhumaniter dan HAM
guguranggotabersenjatabaik TNI/Polrimaupun TPNPB tidakdianggappelanggaran HAM
karenakarenapekerjaantentarabersinggungandengankeamanan dan pertahanan NKRI dan
TPNPB siapmati demi memperjuangkanKemerdekaanBangsa Papua yang
siapmenghadapisetiapancaman dan seranganmusuh.
Berdasarkanrealitasobjektif dan perspektifhukum yang
menunjukandalamtubuh TNI/Polribelummenjalankanprinsip-prinsip yang
mengaturperang atau konflikbersenjatayaitu:
(1) prinsippembatasan, yaitusetiappihak yang
terlibatdalamperang atau konflikuntukmenentukan.
(2) prinsipproporsionalitas, yaknijumlahkekuatan yang
diterjunkan harus seimbangdenganmusuh yang dihadapi;
(3) prinsippembedaan, yaitukonflikbersenjata atau
perangdibedakanantarapenduduksipil (civilians) denganpesertatempur (combatant)
dan obyeksipildenganobyek milker sehinggaserangan hanya diarahkan ke
sasaranrailiter.
Prinsip-prinsip ini justrudiabaikanbahkantidakdijalankan
oleh TNI/Polridalamsaatmenghadapi TPNPB. TNI justrumelakukanpengirisan,
penangkapan dan pembunuhan yang salah sasaran pada masyarakat biasa dan
selaludibenarkandenganberbagaituduhan, labelisasi dan
memanipulasiinformasi.
Sebaliknya TNI operasimelaluipesawat, senjataapi dan bom
yang
jelastidaksesuaidenganhukumhumaniterinternasionaldalamperangmenghadapkelompokgerilyasepeti
TPNPB di Papua. Hal ini mencederaihukumhukum dan
nilaidemokrasisertamelanggar prinsipperangangkatanbersenjata yang
diaturdalamhukum PPB. Dimaan Indonesia sebagaianggota PBB,
pihakmiliterberkewajibanuntukmematuhihukurnhumaniterdalamsuasanaperang dan konflikbersenjata,
Perilakukekerasan yang "dipertontonkan" militerdalamperang dan
konflikbersenjatadenganpihak TPNPB atau rakyat sipilberunjuk rasa
memalukanbangsa dan negara sertatidakmenunjukkansebagai negara hukum dan
demokrasi.
Berdasarkantindakankekerasan, penindasan dan pembantaian
rakyat Papua. Kekejaman ini
digambarkansebagai LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di
dalamtubuhbangsa Indonesia oleh Prof. Dr. Franz
Magnis-Susenodengantepatmengatakan:
“Situasi di Papua adalah buruk,
tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media
asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia."
(hal.255). “kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa
yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam."
(hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout,
OFM, mengatakan: “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat
sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia." (Sumber:
Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601). Penyebab
LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan
dan dirumuskan Lembaga Ilmu
Namunberdasarkantingkatkekerasan, pembungkaman dan
pembunuhan sampai saat ini yang belumdiselesaikanmenunjukanbahwa Negara
Indonesia tidakada yang niatbaikterhadap masa depan rakyat bangsa Papua. Masa
depanbangsa Papua hanya diperolehmelaluikemerdekaansebagaisebuahbangsa yang
berdaulatdiatastanahnyasendiri.
Dan perludigarisbawahiKemerdekaanbangsa Papua
sebagaikemerdekaandaripenindasan dan penjajahan yang diakukan oleh negara
kolonial Indonesia, imperialis dan sistemkapitalis yang menindaskelassosial di
seluruh dunia. Kemerdekaanbangsa Papua sebagai salah satukemenganbagitakyat
yang tertindas oleh sistem yang sama terhadaptakyat Indonesia dan Palestina dan
takyattertindaslainya.
suara papua.id
0 Komentar