Halo, Shalom! Saya adalah Pdt. Dr. Siegfried Zollner seorang gembala bagi domba-domba, terutama untuk orang-orang Yali. Pada tahun 1961, saya melakukan ekspedisi penjelajahan pertama ke Piliam di Lembah Sibi, tempat misi pertama kali didirikan. Dalam pembahasan ini, saya akan menjelaskan asal-usul kata "YALI."
Kata "Yali" sebenarnya berasal dari Suku Dani. William Milliken dalam referensinya, "Ethnobotany of the Yali of West Papua," menyebutkan bahwa bahasa Yali mirip tetapi berbeda dari bahasa yang digunakan oleh Suku Dani. Bahasa Yali termasuk dalam subfamili Ngalik-Nduga, yang juga digunakan oleh Pesegem di selatan lembah Baliem. Ini adalah bagian dari keluarga bahasa Dani Besar, seperti yang dikemukakan oleh Heider pada tahun 1970. Secara singkat, nama "Yali," atau penulisan alternatif "Jalé," berasal dari kata Dani "jalé-mó," yang berarti "tanah di sebelah timur." Nama ini diadopsi oleh Koch pada tahun 1974 untuk mendefinisikan populasi yang tinggal di sebelah timur lembah Baliem. Mereka memiliki tradisi budaya yang berbeda dengan masyarakat Dani, dan pemukiman mereka berpusat di Lembah utara batas tengah dan Lembah Seng di selatan. Daerah ini disebut Jalémó atau Yalimo, menurut Heider pada tahun 1970.
Sementara itu, istilah "ORANG YALI" merujuk kepada orang-orang yang tinggal di bagian timur lembah Baliem, yang dikenal sebagai Jalémó atau Yalimo (Jalemo Selatan menurut Fritz Heider pada tahun 1970).
Fritz Heider adalah seorang psikolog sosial Austria-Amerika yang terkenal karena kontribusinya dalam bidang psikologi sosial dan kepribadian. Ia lahir pada tanggal 19 Februari 1896 di Vienna, Austria, dan meninggal pada tanggal 2 Februari 1988 di Lawrence, Kansas, Amerika Serikat.
Salah satu konsep utama yang dikembangkan oleh Fritz Heider adalah teori atribusi. Teori atribusi berkaitan dengan cara kita mencoba memahami dan menjelaskan perilaku orang lain, serta diri sendiri, dengan mengatribusikan penyebab tertentu kepada perilaku tersebut. Heider mengemukakan bahwa orang cenderung mengatribusikan perilaku seseorang kepada faktor internal (seperti kepribadian atau karakter) atau faktor eksternal (seperti situasi atau lingkungan). Konsep ini memiliki dampak besar dalam memahami persepsi sosial dan interaksi manusia.
Selain itu, Heider juga terkenal dalam studi mengenai teori ketidakkonsistenan kausal. Dia memperkenalkan konsep "bilangan ketidakkonsistenan kausal" untuk menjelaskan bagaimana orang mencoba menjelaskan perubahan perilaku orang lain dalam berbagai situasi.
Fritz Heider adalah tokoh penting dalam perkembangan psikologi sosial dan kontribusinya memberikan wawasan penting dalam memahami cara manusia berinteraksi dan memahami dunia di sekitar mereka.
Dibawah ini adalah ulasan terkait buku saya, Tete kami yang terhormat, dan yang kami orang Yali muliakan, kami ingin menyampaikan terima kasih kami kepada penulis buku Pdt. Dr. Siegfried Zollner. Beliau merupakan seorang tokoh perdamaian bagi orang Yali, Anggruk, dan Aphapsili. Selama berabad-abad, orang-orang Yali hidup dalam konflik dan musuh-musuh internal. Mereka juga tidak terlepas dari situasi dunia luar yang serupa, yaitu perang antarmanusia sebagai satu-satunya jalan bagi kehidupan nenek moyang mereka. Untuk mendominasi wilayah mereka, mereka menunjukkan kekuatan fisik yang nyata untuk membuktikan bahwa suku A lebih kuat daripada suku B. Hal ini mendorong dunia untuk mencari solusi terbaik agar dapat hidup berdampingan dengan damai, serta menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Proses panjang menuju rekonsiliasi ini, yang terjadi di Eropa dan dunia luar, juga aktif dalam kehidupan sehari-hari orang Yali, seperti berkebun, bercocok tanam, berburu, dan perang.
Bagian I
Sebelum Pemerintah Belanda dan Misionaris di Yalimo
Dahulu kala, orang-orang Yali hidup tanpa pengetahuan tentang dunia luar. Mereka hanya mengenal sejarah pohon Yeli dan versi mereka tentang asal mula manusia di dunia. Mereka meyakini bahwa manusia yang pergi pada masa lalu akan kembali suatu saat nanti ke daerah Yali. Keyakinan ini diwariskan dari generasi ke generasi sebagai pengingat bahwa kedatangan seseorang akan terjadi. Pada masa itu, orang Yali tidak menyadari keberadaan suku bangsa lain selain tiga suku besar yang tinggal di Pegunungan Papua, yaitu Suku Yali, Hubula, dan Lanny.
Kehidupan sehari-hari mereka sangat sederhana, dengan berkebun, beternak, berburu, dan aktivitas lainnya. Salah satu aktivitas yang paling mengerikan adalah kebiasaan saling membunuh dan memakan sesama suku. Sejarah mereka menunjukkan bahwa konflik berdarah terjadi antar-marga dan bahkan antarkampung karena berbagai alasan yang memicu permusuhan. Hal ini juga bergantung pada hukum adat orang Yali yang melarang membunuh sembarangan, mencuri istri orang lain, mengambil tanah milik orang lain, dan sebagainya. Sebelum mereka mengenal ajaran agama yang diwahyukan melalui Alkitab, hukum adat ini mengatur konflik dan memicu perang antarkelompok A dan B ketika dilanggar. Perang berlanjut jika salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain, dan perang tersebut seringkali mengakibatkan korban yang dijadikan santapan. Ini menjadi tradisi yang diteruskan ketika ada alasan tertentu.
Bagian II
Zaman Belanda dan Misionaris:
Ketika Belanda menduduki Hindia Belanda, orang Yali masih hidup dalam konflik internal dan tetap terisolasi dari dunia luar. Mereka tidak menyadari keberadaan manusia lain dengan kulit yang berbeda. Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa wilayah mulai dikenal oleh misionaris Katolik dan orang-orang yang hidup dalam isolasi di pegunungan pedalaman yang sejuk. Mereka menyaksikan pesawat MAF sebagai penghubung antara misionaris dan orang Yali. Pada saat itu, pesawat MAF adalah makhluk terbesar yang melintas di atas rumah mereka, meskipun belum berhasil mendarat karena masih jauh dari permukaan.
Pada tahun 1960, ketika wilayah ini masih disebut Nederland Nieuw Guinea atau West Nieuw Guinea, seorang tokoh yang sangat penting, Pdt. Dr. Siegfried Zollner, tiba di Holandia. Zollner adalah tokoh yang membawa perdamaian bagi orang Yali, sesuai dengan visi ketua klasis orang Papua pertama yang memiliki pikiran besar untuk membuka isolasi di daerah-daerah pedalaman termasuk wilayah Yali. Pada tahun 1961, setelah perjalanan panjang dari Wamena, Mugi, dan wilayah Yalimek, pada tanggal 24 Maret, orang-orang Yali melihat manusia dengan kulit yang berbeda dari mereka. Mereka merasa penasaran dan akhirnya menerima orang tersebut dengan baik, menyambutnya sesuai dengan budaya adat Yali dengan cara membakar batu wam dan makan bersama. Bagi orang Yali, kedatangan Zollner adalah pemenuhan dari keyakinan mereka bahwa orang-orang yang pergi pada masa lalu akan kembali suatu hari nanti. Misionaris ini bekerja tanpa lelah, dari kampung ke kampung, untuk memberikan pesan Injil kepada orang Yali. Daerah yang sebelumnya sangat terisolasi mulai membuka diri ke dunia luar. Akhirnya, pada tanggal 24 Maret, sejak tahun 1961 hingga saat ini, merupakan hari bersejarah bagi orang Yali yang telah menjalani 62 tahun sejak peristiwa penting itu.
Pada masa misi tersebut, orang Yali belum mengenal pendidikan formal. Namun, mereka sangat antusias untuk belajar hal-hal baru. Dengan cepat, mereka memahami maksud dan tujuan yang disampaikan oleh misionaris. Setelah mendidik mereka, misionaris mengirimkan empat orang Yali pertama untuk mendapatkan pendidikan di Belanda agar mereka dapat membawa pengetahuan baru ini kembali ke suku mereka. Mereka adalah orang Yali Anggruk pertama yang terhubung dengan dunia luar.
Di zaman misionaris, kualitas pelayanan kesehatan di daerah Yali sangat baik. Misionaris mengajarkan cara membuat obat, melakukan operasi, dan memberikan resep obat lainnya. Pada saat itu, rumah sakit di daerah tersebut adalah yang terbaik, tidak hanya di Papua tetapi juga di Papua Nugini. Daerah ini menjadi pusat pelayanan kesehatan bagi berbagai wilayah di Papua dan Papua Nugini (PNG).
Kami juga ingin menghargai suku-suku bangsa lain seperti suku Biak, Serui, Sentani, Hubula, Lanny, dan lainnya yang memiliki visi dan kontribusi besar dalam membuka isolasi di wilayah Yali. Mereka berperan penting dalam mendidik orang-orang Yali pada waktu itu, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang memiliki nilai yang sama seperti manusia lain di seluruh dunia.
Zaman Kolonialisme Indonesia di papua:
Semua pencapaian tersebut hancur ketika Indonesia datang. Rumah sakit terbaik yang pernah ada di sana kini telah lenyap, dan pendidikan sesuai dengan konteks orang Yali dihancurkan dalam sekejap mata. Saat ini, yang tersisa hanyalah cerita dan sejarah yang tertulis dalam beberapa buku.
Tuhan Yesus memberkati. Wa.wa.wa.wa.nori nehebi, numaliki.
Editor,suara papuan.id
0 Komentar