SEJARAH ASAL USUL KATA YALI DAN SEBUTAN ORANG YALI
Landasan
singkat,asal usul kataYali dan sebutan Orang Yali.
Based on Ethnobotany
of the Yali of West Papua
Oleh William Milliken
In 1963 West Papua passed from Dutch administration and was taken under colonial rule by Indonesia. The transition was not without its difficulties and some controversial acculturation policies were implemented. These included operasi koteka, in 1971, which attempted to rid the highland peoples of their penis gourds and impose conformity with Indonesian standards and ideals (Gietzelt, 1989). There followed a period of considerable civil unrest in the region, much of which was put off limits to foreign visitors. In recent years the ruling government has modified its direct reform programmes for more subtle methods of effecting change.
= Pada tahun 1963 Papua Barat lepas dari pemerintahan Belanda dan diambil alih oleh pemerintahan kolonial Indonesia. Transisi ini bukannya tanpa kesulitan dan beberapa kebijakan akulturasi kontroversial diterapkan. Hal ini termasuk operasi koteka pada tahun 1971, yang berupaya untuk menghilangkan kebiasaan masyarakat dataran tinggi dan menerapkan standar dan cita-cita Indonesia (Gietzelt, 1989). Terjadilah periode kerusuhan sipil yang cukup besar di wilayah tersebut, yang sebagian besar tidak dapat dikunjungi oleh pengunjung asing. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah yang berkuasa telah memodifikasi program reformasi langsungnya menjadi metode yang lebih halus dalam melakukan perubahan.
The Yali
Almost forty percent of the indigenous population of New Guinea lives between 1400m and 2700m a.s.l. in the valleys of its Central Cordillera, and the Baliem valley supports one of the densest populations in that range (Powell, 1976a). The Yali inhabit the rugged mountainous terrain which lies east of the valley, living in small villages of round thatched houses perched on the valley sides. The villages consist of one or more of the large (sacred) men’s houses and a cluster of smaller family huts built nearby. Their society is strictly male-dominated, and a man’s wealth is measured by the number of pigs and wives he possesses. Magic and sorcery traditionally play a very important role in their spiritual culture. The Yali practise shifting cultiva- tion, relying primarily on sweet potato and taro as their staples, and gather supplementary food from the forest by hunting and gathering. Apart from the clearing and digging of new fields, cultivation and harvesting are the preserve of the women whereas men devote their time to hunting, house construction and at times warfare. Their material culture is based almost entirely upon forest products, and until the 1960s they relied upon stone cutting implements.
= Yali
Hampir empat puluh persen penduduk asli New Guinea hidup antara 1400m dan 2700m dpl. di lembah Cordillera Tengah, dan lembah Baliem merupakan salah satu daerah dengan populasi terpadat di wilayah tersebut (Powell, 1976a). Suku Yali mendiami daerah pegunungan terjal yang terletak di sebelah timur lembah, tinggal di desa-desa kecil dengan rumah jerami bundar yang terletak di sisi lembah. Desa-desa tersebut terdiri dari satu atau lebih rumah laki-laki (suci) yang besar dan sekelompok gubuk keluarga kecil yang dibangun di dekatnya. Masyarakat mereka didominasi oleh laki-laki, dan kekayaan seorang laki-laki diukur dari jumlah babi dan istri yang dimilikinya. Sihir dan sihir secara tradisional memainkan peran yang sangat penting dalam budaya spiritual mereka (Dalam konteks dulu,sebelum injil masuk ke lembah yalimo). Suku Yali mempraktikkan perladangan berpindah, mengandalkan ubi jalar dan talas sebagai makanan pokok mereka, dan mengumpulkan makanan tambahan dari hutan dengan berburu dan meramu. Selain membuka dan menggali ladang baru, bercocok tanam dan memanen adalah hak perempuan, sedangkan laki-laki mencurahkan waktunya untuk berburu, membangun rumah, dan terkadang berperang. Budaya material mereka hampir seluruhnya didasarkan pada hasil hutan, dan hingga tahun 1960an mereka bergantung pada alat pemotong batu.
The Yali speak a language related to but distinct from that spoken by the Dani. This forms part of the Ngalik-Nduga subfamily (spoken also by the Pesegem south of the Baliem valley), which is part of the Greater Dani language family (Heider, 1970). The name Yali, otherwise written as Jalé, derives from the Dani word jalé-mó which means ‘lands to the east’. This has been adopted by Koch (1974) to define the population which ‘lives east of the Baliem valley; has a cultural tradition which is in many aspects distinct from that of the Dani people; and concentrates its settlements in the Sévé, Jaxólé and Ovaxak Valleys, north of the central divide, and in the Seng Valley, south of it’ (see Fig. 1). This area, referred to as Jalémó or Yalimo (Southern Jalemo according to Heider (1970)), was estimated in the late 1960s to support a population of approximately 10,000 (Koch, 1974).
= Suku Yali berbicara dalam bahasa yang mirip tetapi berbeda dengan bahasa yang digunakan suku Dani. Bahasa ini merupakan bagian dari subfamili Ngalik-Nduga (diucapkan juga oleh Pesegem di selatan lembah Baliem), yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Dani Besar (Heider, 1970). Nama Yali, atau ditulis sebagai Jalé, berasal dari kata Dani jalé-mó yang berarti tanah di sebelah timur. Hal ini diadopsi oleh Koch (1974) untuk mendefinisikan populasi yang tinggal di sebelah timur lembah Baliem; mempunyai tradisi budaya yang dalam banyak hal berbeda dengan tradisi masyarakat Dani; dan memusatkan permukimannya di Lembah Sévé, Jaxólé, dan Ovaxak, di utara batas tengah, dan di Lembah Seng, di selatannya (lihat Gambar 1). Daerah ini, yang disebut sebagai Jalémó atau Yalimo (Jalemo Selatan menurut Heider (1970)), diperkirakan pada akhir tahun 1960an mampu menampung populasi sekitar 10.000 jiwa (Koch, 1974).
The history of these peoples’ early contacts with outsiders is related by Koch (1974). In 1960 an agreement was reached between missionaries of the Protestant Church of Irian Jaya (Geredja Kristen Indjili; GKI) and American missionaries that Yalimo was to be GKI territory, and in March 1961 an exploratory expedition reached Piliam in the Sibi valley, where a mission was established. Later in the same year an airstrip was constructed at Anggruk in the neighbouring Yaholi valley, and another mission was set up. The Piliam mission was moved to the neighbouring village of Pronggoli in November 1963, where in 1964 another airstrip was built. Further missions were soon established in the other valleys of Yalimo, and proselytising and the education of young boys were initiated.
Warring between different groups of the Yali is, traditionally, common. The inhabitants of the Sibi valley, where this study was carried out, have in the past maintained extremely stormy relations with those of the Yaholi valley to the southwest. These took the form of a series of killings and retaliatory attacks between 1940 and 1966, sparked off by the killing of a Dani man in the Sibi valley (Koch, 1974). Subsequent reprisals by the Indonesian police, combined with the influence of the missionaries, have effectively halted most intra- tribal violence in the region.
=Sejarah kontak awal masyarakat ini dengan pihak luar diceritakan oleh Koch (1974). Pada tahun 1960 dicapai kesepakatan antara misionaris Gereja Protestan Irian Jaya (Geredja Kristen Indjili; GKI) dan misionaris Amerika bahwa Yalimo akan menjadi wilayah GKI, dan pada bulan Maret 1961 ekspedisi penjelajahan mencapai Piliam di lembah Sibi, tempat misi didirikan. Kemudian pada tahun yang sama, sebuah landasan udara dibangun di Anggruk di lembah Yaholi yang berdekatan, dan misi lain pun didirikan. Misi Piliam dipindahkan ke desa tetangga Pronggoli pada bulan November 1963, di mana pada tahun 1964 landasan udara lain dibangun. Misi lebih lanjut segera didirikan di lembah-lembah lain di Yalimo, dan penyebaran agama serta pendidikan anak-anak muda pun dimulai.
Secara tradisional, peperangan antar kelompok suku Yali adalah hal yang biasa. Penduduk lembah Sibi, tempat penelitian ini dilakukan, di masa lalu mempunyai hubungan yang sangat buruk dengan penduduk lembah Yaholi di barat daya. Hal ini berupa serangkaian pembunuhan dan serangan balasan antara tahun 1940 dan 1966, yang dipicu oleh pembunuhan seorang pria suku Dani di lembah Sibi (Koch, 1974). Pembalasan yang dilakukan oleh polisi Indonesia, ditambah dengan pengaruh para misionaris, telah secara efektif menghentikan sebagian besar kekerasan antar suku di wilayah tersebut.
Secara
singkat bisa dikatakan bahwa :
Kata “YALI” Berasal dari Suku Dani jika dilihat dari Referensi “Ethnobotany of the Yali of West Papua Yang dituli oleh William Milliken” bahwa berbicara dalam bahasa yang mirip tetapi berbeda dengan bahasa yang digunakan suku Dani. Bahasa ini merupakan bagian dari subfamili Ngalik-Nduga (diucapkan juga oleh Pesegem di selatan lembah Baliem), yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Dani Besar (Heider, 1970). Nama Yali, atau ditulis sebagai “Jalé,” berasal dari kata Dani jalé-mó yang berarti tanah di sebelah timur. Hal ini diadopsi oleh Koch (1974) untuk mendefinisikan populasi yang tinggal di sebelah timur lembah Baliem; mempunyai tradisi budaya yang dalam banyak hal berbeda dengan tradisi masyarakat Dani; dan memusatkan permukimannya di Lembah Sévé, Jaxólé, dan Ovaxak, di utara batas tengah, dan di Lembah Seng, di selatannya. Daerah ini, yang disebut sebagai Jalémó atau Yalimo (Jalemo Selatan menurut Heider (1970)), diperkirakan pada akhir tahun 1960an mampu menampung populasi sekitar 10.000 jiwa (Koch, 1974).
Sedangkan kalimat “ORANG YALI“ berarti orang yang tinggal di bagian sebelah timur dari lembah baliem, dan Daerah Yali ini disebut sebagai Jalémó atau Yalimo (Jalemo Selatan menurut Fritz Heider (1970)
Sekiranya dimohon dikonfirmasi dan divalidasi oleh senior dan intelektual Orang Yali.
lalu, Siapakah Fritz Heider.?
Fritz Heider adalah seorang psikolog sosial Austria-Amerika yang dikenal karena kontribusinya dalam bidang psikologi sosial dan psikologi kepribadian. Ia lahir pada tanggal 19 Februari 1896 di Vienna, Austria, dan meninggal pada tanggal 2 Februari 1988 di Lawrence, Kansas, Amerika Serikat.
Salah satu konsep utama yang dikembangkan oleh Fritz Heider adalah teori atribusi. Teori atribusi mengacu pada cara kita mencoba memahami dan menjelaskan perilaku orang lain dan diri sendiri dengan mengatribusikan penyebab tertentu kepada perilaku tersebut. Heider mengemukakan bahwa orang cenderung mengatribusikan perilaku seseorang kepada faktor internal (seperti kepribadian atau karakter) atau faktor eksternal (seperti situasi atau lingkungan). Konsep ini memiliki dampak besar dalam memahami persepsi sosial dan interaksi manusia.
Selain itu, Heider juga terkenal dengan penelitiannya dalam bidang persepsi sosial, khususnya dalam studi mengenai teori ketidakkonsistenan kausal. Dia memperkenalkan konsep "bilangan ketidakkonsistenan kausal" untuk menjelaskan bagaimana orang mencoba menjelaskan perubahan dalam perilaku orang lain dalam berbagai situasi.
Fritz Heider merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan psikologi sosial dan kontribusinya telah memberikan wawasan penting dalam memahami cara manusia berinteraksi dan memahami dunia sekitarnya.
editor, suara papuan.id
0 Komentar